Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Editor : Andriyati
Cover : EMTE
Layout : Alfian
Penerbit : Republika
Cetakan : I, Oktober 2014
Tebal : 544 halaman
ISBN : 978-602-8997-90-4
Saya orang yang jarang sekali membaca novel apalagi yang tebalnya hingga 544 halaman. Saya lebih tertarik dengan cerita-cerita pendek yang ringan dan mudah dicerna. Beberapa novel yang pernah saya baca berkisar 200 halaman-an dan kebanyakan cerita non fiksi. Semuanya berkisah tentang warna-warni kehidupan yang penuh inspirasi. Karya Asma Nadia adalah novel yang cukup akrab dengan saya saat ini, selain salah satu penulis best seller di Indonesia, tulisannya dikemas dengan apik dan membuat saya banyak mengambil pelajaran.
Lalu bagaimana dengan novel ‘Rindu’, novel ke-13 yang diterbitkan bersama Republika, karya Tere Liye ini? Tere Liye dikenal sebagai penulis buku-buku best seller yang karyanya diminati cukup banyak pencinta novel. Saya yakin peminat karya Tere Liye ini bukan sekedar menyukainya karena ketenarannya sebagai penulis saja tetapi juga karena karyanya yang memang ‘berisi’. Tentulah ada sesuatu yang membuat karya-karyanya semakin dirindukan oleh pembaca. Bagi saya yang baru pertama kalinya membaca novel karya Tere Liye terbitan Republika dengan tebal yang ‘aduhai’ ini, memang tidak mudah menyelesaikannya tapi rasa penasaran berkecamuk dan akhirnya saya pun membelinya sekitar pertengahan bulan Oktober 2014 kemarin dari sebuah toko online yang saya percaya. Cover-nya putih, bersih, sederhana dan langsung mengena pada sasaran sepertinya akan ‘seputih kerinduan’ di dalam novelnya.
Membaca novel ‘Rindu’ ini saya seperti dibawa ke masa lalu tepatnya masa penjajahan, sekitar 7 tahun sebelum Indonesia merdeka. Bahkan saya sendiri belum lahir ketika itu. Setting cerita sukses membuat saya seolah-olah hidup di zaman tersebut. Ada beberapa hal yang sangat menarik di dalam novel ini. Kemampuan penulis dalam menggambarkan suasana Indonesia kala itu terutama beberapa kota seperti Makassar, Batavia (sekarang disebut Jakarta), Bengkulu, Padang hingga Aceh patut diacungi jempol. Novel ini ‘Indonesia banget’ itu kalau kata-kata saya. Menunjukkan keberagaman dan kekayaan Indonesia dari kisah sebuah perjalanan yang penuh makna. Bahkan persahabatan dan keakraban antara orang Belanda dan rakyat Indonesia tidak lepas dari sorotan sang penulis.
Kekuatan lainnya yang ada di dalam novel ini adalah pilihan kata yang mudah dicerna, meski cukup banyak percakapan dalam bahasa Belanda namun semua diiringi arti dalam bahasa Indonesia jadi saya tetap bisa memahaminya. Bahkan saya jadi tertarik untuk belajar bahasa Belanda setelah membacanya. Bahasanya pun cukup renyah dan ringan sehingga ketika dibaca dalam suasana apapun tetap ‘enak’ termasuk ketika saya harus begadang sambil memantau anak saya yang sedang demam, batuk dan sariawan. Saya tidak menemukan diksi yang sulit dipahami. Ceritanya ditulis begitu mengalir hingga saya sendiri enggan menghentikannya.
Novel ini sedikit kompleks karena membungkus 5 pertanyaan dalam sebuah kisah perjalanan haji. Empat pertanyaan dijawab oleh seorang ahli agama dan uniknya 1 pertanyaan justru dijawab oleh seorang yang baru belajar agama. Semua pertanyaan muncul pada momen yang ditunggu-tunggu, membuat saya sebagai pembaca cukup penasaran dengan jawaban-jawaban yang akan diberikan. Disinilah pesan moral itu sangat kental tersaji. Saya bahkan membaca jawaban tersebut berulang-ulang kali demi turut meresapinya di dalam hati.
Di dalam novel ini, ada kisah yang membahagiakan dan membuat gelisah yaitu ketika istri dari Daeng Andipati ternyata hamil dan menghabiskan masa kehamilan dan melahirkan di kapal yang ternyata anaknya kembar berjenis kelamin laki-laki. Dibalut dengan kisah Daeng Andipati yang ternyata menyimpan kebencian kepada ayahnya sendiri. Ada juga kisah yang menakutkan termasuk ketika perompak Somalia dengan cerdik memperdaya kelalaian Kapitein Phillips di tengah lautan. Juga ketika salah satu bagian mesin di kapal Blitar Holland mengalami kerusakan dimana mesin harus dimatikan dan kapal mengambang di lautan lepas menanti pertolongan dari kapal lain. Ada juga aksi ‘pembunuhan’ si ‘Gori Penjagal’.
Hingga kesedihan dan ketidakberdayaan dalam menghadapi sebuah kematian yang merenggut kekasih hati Mbah Kakung Slamet. Ada kalimat yang mengingatkan saya yaitu “kematian adalah urusan yang tidak pernah bisa ditunda dan dimajukan” (halaman 428). Kisah masa lalu yang memalukan dari Bonde Upe, guru mengaji selama di kapal yang ternyata bekas seorang cabo. Sampai dipenjarakannya seorang ulama masyur oleh Sergeant Lucas karena diduga sebagai pemberontak dan penghasut kemerdekaan Indonesia. Saya paling suka cerita tentang Chef Lars yang memarahi Ambo Uleng ketika terlambat masuk ke kantin dan mengomelinya dengan ibarat ‘tumis buncis’ (halaman 167), itu cerita yang paling lucu dan kontan membuat saya tertawa. Dan masih banyak cerita-cerita lucu lainnya mulai dari ‘celotehan’ Anna dan Elsa serta pertengkaran mereka di meja makan dengan Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet yang juga mengurai senyum dan tawa.
Ada banyak sekali klimaks di dalam novel ini. Semuanya berkesan dan dikisahkan dengan baik hingga saya larut dalam cerita. Beberapa kali saya bertanya-tanya termasuk ketika ada bunyi-bunyi aneh di sisi gelap sebuah kapal yang saya pikir ini akan ada cerita ‘horor’-nya. Hingga di ujung cerita saya terus dibuat bertanya-tanya tentang sosok perempuan yang membuat Ambo Uleng ingin pergi jauh dari kota asalnya. Setiap pertanyaan dari aktor-aktor yang berbeda latar belakang mampu mengundang rasa haru dan syukur, terselip pesan moral di dalam setiap pertanyaan hingga saya sendiri tertarik untuk meneladaninya. Bonda Upe (Ling Ling), Daeng Andipati, Mbah Kakung, Ambo Uleng dan Gurutta (Ahmad Karaeng) bertemu dalam sebuah kapal, berlatar belakang yang beragam namun akhirnya dipersatukan hingga ke tanah suci.
Novel setebal 544 ini berakhir dengan kebahagiaan atau istilah lainnya happy ending. Meski demikian sebagai wujud apresiasi saya terhadap karya indah ini, saya tetap ingin mengkritisinya karena ada beberapa bagian yang menurut hemat saya perlu diperbaiki.
Terkait dengan typo alias kesalahan ketikan seperti kata “Ssama” pada halaman 380. Saya juga masih menemukan kata-kata yang seharusnya tidak di-italic tapi di-italic seperti “siapa yang malu-maluin? (halaman 157); “semuanya” (halaman 371) karena bukan bahasa asing ataupun bahasa daerah. Kalimat yang terdengar aneh karena kesalahan kata ganti, jika dibaca lagi di halaman 157, ketika Elsa dan Anna makan kepiting pada undangan makan malam Kapten Phillips, agak aneh karena ada kalimat “Ia cuma sedang makan kepiting” padahal Anna bicara tentang dirinya pada kakaknya Elsa, kata ganti Ia membuat cerita jadi membingungkan. Kemudian pada halaman 322, tiba-tiba saja tertulis “tanggal 12 Desember 2013” padahal setting cerita adalah tahun 1938. Ini benar-benar mengganggu. Kesalahan yang sedikit merusak suasana cerita. Sepertinya editor novel ‘Rindu’ ini masih perlu lebih teliti dalam proses editing-nya.
Baru kali ini saya membaca novel bertema perjalanan kerinduan yang cukup panjang dengan tujuan perjalanan yang indah yaitu menunaikan ibadah haji dimana didalamnya terdapat lima kisah yang menggugah hati. Saya belum pernah membaca novel sekompleks dengan banyak klimaks seperti ini, namun bisa dikemas dengan apik dan menarik. Saya belum pernah tertawa sambil menangis ketika membaca epilog sebuah cerita, namun novel ini berhasil membuat saya penuh tanya, tertawa sambil menangis, senyum, bahagia, takjub dan rindu akan sebuah perjalanan menuju tanah suci. Akhir kata, dua kata untuk novel ini ‘menarik dan inspiratif’. Novel ini meski fiksi tapi saya yakin ada sebagian yang diangkat dari kisah nyata entah itu berasal dari kisah orang lain atau pemikiran sang penulis sendiri. Novel ini sangat layak dibaca terutama bagi umat muslim yang ingin berangkat haji, bahwa perjalanan haji itu penuh warna, tidak semulus yang dibayangkan, tetapi insyaallah akan selalu berakhir dengan penuh hikmah.
Resensi yang mengulas berbagai aspek tentang buku.
Tokoh utama dan tokoh pendamping disentuh dengan bukti pendukungnya
Tak ada buku yang sempurna namun kekurangan yang ada tak berarti sebuah buku cacat seluruhnya
Menulis resensi buku memang menilaiapa yang sudah ditulis oleh pengarangnya dan bukan apa yang kita harapkan dari sang pengarang
Salam hangat dari Surabaya
Wah trimakasih sudah mengingatkan saya pakdhe, saya ini baru belajar meresensi jadi pas banget dapat ilmu dari pakdhe, semoga resensi saya ini bisa mewakili isi bukunya.
Wah, tebel banget ya novelnya. Tapi, bikin penasaran. Harus baca ini mah. Suka sama novel-novelnya Tere Liye. Makasih sudah share, Mak. ^^
bener banget mak, tebelnya lumayan tapi ga bisa berhenti bacanya, kita dibawa kemana-mana, hanyuttt… ayo mak dibaca 🙂
Waahhh udah ngeri duluan baca halamannya. Tapi baca resensinya jadi penasaran pengen baca…hahaha
Halaman yang mana mak? iya bukunya mmg bikin penasaran, ayo dibaca mak aku sih di epilognya ampe nangis sambil ketawa 🙂
Mulanya aku tak begitu suka dengan novel Tere Liye, tapi setelah membaca Negeri Para Bedebah, aku jadi kagum… sekarang baru punya 3 novelnya. Sepertinya aku akan beli yang satu ini.
NIce review, dear!
wah keren mak, aku malah baru ini punya novel Tere Liye, ternyata dia memang cukup keren dalam menulis, buku Rindu setebal 544 halaman ini cukup bikin aku penasaran dan ketagihan ama buku2 tulisannya yg lain. Thanks for coming mak, jgn lupa beli novel Rindu-nya ya 🙂
sebetulnya, belum ada satupun novel Tere Liye yang saya baca. Jadi penasaran juga karena banyak yang memuji 🙂
saya juga baru pertama loh mak baca novel Tere Liye ya yang judulnya Rindu ini. Saya suka karena ceritanya tidak sederhana, tetep enak dibaca karena ada celotehan anak-anak di dalamnya, unsur romantis ada, lucu ada, sedih ada, wah pokoknya paket komplit mak. Ayo dicoba baca yang ini 🙂
Saya belum baca Mak. Suka sama Karya Tere Liye itu yang judulnya Negeri di Ujung Tanduk sama Negeri Para Bedebah, duh…. baca berulang-ulang. Novelnya yang Bumi juga penuh fantasi. Beberapa novelnya kumpulan cer[en gitu, saya udah baca juga cuma lupa judulnya. Kayaknya yang di atas boleh juga masuk list buku must hunt bulan ini…
iya mak, kudu banget punya Rindu ini, buatku sih ya ini cerita perjalanan Haji yang unik, penuh makna dan bikin hati campur aduk. Ayo beli 🙂
Sekolahan anakku itu ada klub baca. Mau ngundang tere liye tapi dana mereka nggak cukup dengan yang diminta manajemennya. Sepertinya nggak jadi.
masa sih? emang Tere Liye bikin patokan gitu mak, mahal? boleh nih dijadiin masukan untuk dia, sepertinya Tere Liye orang yang cukup senang berbagi ilmu. Semoga ada jalan keluarnya ya mak 🙂
setuju mak… baca buku ini serasa dibawa ke masa lalu… menghibur 🙂
iya mak, wah sudah baca juga ternyata mak. Kita terhanyut ya dibuatnya… 🙂
saya pengin banget nulis novel bertema sejarah indonesia, tapi ngga kuat menyisihkan waktu buat risetnya. Insha Allah jika ada kesempatan mau coba juga. BTW seperti biasa Rodame San selalu menulis dengan bagus dan membuat kita ikut berkelana ke jaman 7 tahun sebelum penjajahan , bravooo….
iya banyak ilmunya Titi san, memang menulis setting sejarah Indonesia itu luar biasa ya, sepertinya Tere Liye juga ga main-main risetnya biar enak dibaca sama orang-orang. Ayolah bikin Titi san, pasti bakal keren banget itu novel Titi san. Alhamdulillah, tapi masih jauhlah, masih haris belajar lebih baik lagi nge-resensinya 🙂
jadi penasaran deh sama isi bukunya, kayanya emang kompleks banget yah cerita di dalamnya.. aku juga belum pernah baca karyanya Tere Liye ini, hehe
iya disitulah letak menariknya buku ini, bikin kita dibawa ke berbagai suasana 🙂 hayuk atu beli di BBL juga ada bukubukularis.com lbh murah harganya, lgi diskon 🙂
iya bukunya beneran menarik, buat saya yg jarang baca novel tebel ini tantangannya luar biasa, alhamdulillah makasih 🙂
waduh.. alimikal lagi sakit? cepat sembuh ya 🙂
baca novelnya teliti sekali mak… saya kalo baca novel jarang tamat… tapi penasaran juga novel Tere Liye yang ini
kmrn juga demam, syukurlah tidak sampai kejang. Cuma memang saya harus waspada mak. alhamdulillah kalo dibilang teliti tapi sepertinya memang masih perlu belajar lagi dalam me-resensi. Makasih mak 🙂
novel yang seru mak… saya jadi pengen cepet baca bukunya mak
yess, bener banget mak, kudu ini mah bacanya…dijamin bakal senyum-senyum sambil ketawa, gregetan ahh banyak rasalah 🙂