Saya sepertinya bukan satu-satunya orang di muka bumi ini yang kenyang dengan namanya ‘bully‘. Beberapa tahun ini terakhir ini rasanya kita sangat akrab dengan yang namanya ‘bully‘. Entahlah apa karena pengaruh media yang sekarang ini, sehingga ‘bully‘ semakin banyak diekspose atau memang orang-orang mulai sadar akan kehadiran ‘bully‘ di dekat kita.
Ceritanya tahun 1993, ini ketika saya masih SD. Saya adalah murid pindahan dari Sumatera Utara ketika itu, karena ayah saya harus mengikuti tugas belajar di Bandung selama kurang lebih 3 tahun. Saya dan sekeluarga pun ikut pindah sementara waktu. Saya bersekolah di sebuah SD Negeri tak jauh dari rumah kontrakan kami. Namun dekat sekali dengan terminal Cicaheum. Saya cukup berjalan pulang dan pergi sekolah, begitu juga dengan adik-adik saya yang TK. Saya masuk di kelas 3 dan langsung bergabung dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yangbenar-benar baru.
Beberapa kali saya diminta untuk menulis mata pelajaran di papan tulis menggunakan kapur. Sepertinya batuk dan menghirup serpihan kapur sudah makanan sehari-hari buat saya. Saya memperkenalkan diri dengan baik, karena orangtua saya mengajarkan saya untuk berteman dengan siapapun tanpa memandang perbedaan. Awalnya semua baik sampai kemudian beberapa orang anak laki-laki mulai menganggu saya.
Suatu kali saya diganggu oleh seorang anak laki-laki. Saya tidak tahu entah kenapa dia usil pada saya. Dia sepertinya jarang sekali mandi sehingga aromanya sangat menusuk hidung. Tingkahnya agak menganggu, mulai dari mengambil pensil saya lalu menggaruk-garukkannya ke kepalanya sampai atasan pensil saya patah. Masa itu pensil citek-citek namanya, yang ada anaknya diisi jika habis, lalu ujungnya ada bentuk sisir kecil, boneka dan macam-macam. Pensil itu pun rusak, patah dibuatnya. Waktu saya memintanya, dia sepertinya sangat marah dan tidak mau memberikannya kembali. Saya lihat bentuk dan aroma pensilnya sudah tak enak, akhirnya saya menyerah dan membeli pensil yang isiannya bisa didorong ke bawah, jika sudah tumpul ganti cabut naikkan ke atas lalu dorong begitu seterusnya. Saya lupa apa nama pensil jenis itu.
Kembali kepada si anak lelaki itu. Setelah hampir beberapa bulan, saya pun akhirnya didekati oleh beberapa teman perempuan di kelas. Mereka cukup ramah dan mau berteman dengan saya, terkadang saya bahkan diajak main ke rumah mereka. Mereka bercerita bahwa anak lelaki itu bernama Didin. Dia agak sakit. Sakit apa? gangguan mental, semacam mengalami keterbelakangan sehingga tidak naik-naik kelas. Karena dia tinggal persis depan gerbang masuk sekolah, ibunya membuka warung. Kepala sekolah dan guru tidak dapat menolaknya di SD tersebut. Oh rasanya saya shock seketika. Bagaimana mungkin Didin digabungkan dengan anak-anak normal lainnya di sekolah ini. Tapi ini bukan sekolah umum, bagi mereka siapapun boleh bersekolah tanpa memikirkan dampak dari keberadaan Didin kepada anak-anak lainnya di sekolah.
Sejak saya tahu itu, saya sedikit menjaga jarak dengan Didin. Saya kuatir kalau-kalau dia ngamuk karena sesuatu hal dan menyakiti saya. Didin memang pantang menyerah, dia tetap saja usil. Saya pernah diikutinya kemanapun saya pergi. Sedikit horor memang, lalu saya pura-pura ke ruang guru agar tak diganggunya. Saya tak pernah berani bertanya atau mengadu pada guru, tidak juga kepada kedua orangtua saya. Entah kenapa saya tidak ingin membuat kedua orangtua saya kuatir akan apa yang saya alami di SD Negeri tersebut. Saya berusaha menghadapinya sendirian sambil terus mengakrabkan diri dengan teman perempuan lainnya di kelas.
Pernah juga suatu ketika, saya kebelet ingin ke kamar kecil. Kelas saya di atas waktu itu dan kamar kecil ada di bawah, lantai 1. Jangan tanya bagaimana keadaan kamar kecilnya. Sangat sederhana tapi cukup bisa diandalkan ketika terdesak. Saya jarang sekali menggunakan kamar kecil itu jika di sekolah. Ketika saya lari menuju kamar kecil dan menutupnya, 2 orang anak lelaki memaksa masuk dan mengancam saya untuk tidak teriak dan panggil guru. Saya panik dan saya tidak tahu harus bagaimana. Saya memohon kepada mereka berdua untuk melepaskan saya dan membiarkan saya pergi. Tapi tidak juga diperbolehkan mereka. Mereka buang air di depan mata saya dan saya menutup kedua mata saya sambil terus memohon untuk dikeluarkan dari kamar kecil yang sempit dan sedikit bau itu.
Setelah saya menangis dan memohon terus, akhirnya saya dilepaskan. Saya tidak jadi buang air kecil, saya menangis dan trauma ke kamar kecil lagi. Juga trauma jika bertemu dengan mereka berdua. Setiap berangkat sekolah saya berusaha buang air kecil dulu di rumah, tidak minum air putih berlebihan agar tak ke kamar kecil di sekolah. Lagi-lagi kejadian ini saya tak pernah menceritakannya pada siapapun termasuk kedua orangtua saya. Saya merasa kasihan kepada kedua orangtua saya dan tak mau membebani mereka. Hidup kami pas-pasan selama di Bandung. Kami memang diajarkan hidup sederhana, tidak mengingini milik orang lain, cukupkan diri dengan apa yang ada di rumah saja, yang diberi orangtua. Tidak berani meminta lebih.
Apakah apa yang saya rasakan itu sekedar kejahilan anak-anak? atau itu disebut ‘bully‘? entahlah, terlepas dari bagaimana orang lain mendefinisikan ‘bully’ itu, yang jelas saya merasa ada yang salah dengan kejadian itu. Kenapa saya tidak berani bercerita pada guru? dimana pengawasan guru ketika itu? bagaimana aturan mengenai keberadaan Didin di sekolah? apa sangsi untuk anak-anak yang jahil seperti itu? apakah guru-guru tahu dan mendiamkannya? apakah saya bukan satu-satunya murid perempuan yang dijahilin anak-anak itu? saya sendiri tidak pernah tahu jawaban semua itu.
Sampai akhirnya sebuah pernyataan pedas keluar dari mulut anak-anak tetangga saya. “saya tidak boleh bermain dan berteman dengan kamu, karena saya dan kamu itu berbeda“. Kala itu saya menangis kencang, pulang ke rumah dan bertanya kepada kedua orangtua saya, kenapa anak-anak itu bicara seperti itu. Apa yang berbeda dari saya, saya tidak pernah membeda-bedakan berteman dengan siapapun. Tapi kata-kata itu terasa menyakitkan. SD saja saya sudah bisa merasa sesedih itu, sesakit hati itu, sekecewa itu dalam berteman. Saya bahkan tidak pernah lupa kata-kata itu. Akhirnya saya jadi jarang keluar rumah, berdiam diri dan menghabiskan waktu di rumah. Sampai saya kembali ke Sumatera Utara. Saya ternyata harus diantar pulang terlebih dahulu, karena untuk kelas 6 akan ada ujian kenaikan menuju SMP, saya harus berada disana mulai masuk kelas 6 untuk memudahkan segala urusan surat-menyurat dan ijazah SD nantinya.
Lalu, kembali saya mengalami ‘bully‘ disana, di sebuah SD Negeri tak jauh dari terminal. Lagi-lagi lokasinya dekat terminal. Saya akan ceritakan di “Sudah Kenyang dengan ‘Bully’ [Bagian 2]“.
Anak saya yang masih balita dulu juga pernah kena bully, Mak. Ada temannya yang bilang, “Kamu nggak boleh main di sini!”.
Memang sih yang bilang juga balita. Tapi sebagai orangtuanya saya kok agak sakit hati juga :). Tugas saya sih untuk memberi pengertian pada anak, terus membesarkan hatinya, dan woles aja 🙂
iya mak, anak tetangga yang begitu disini juga ada, bahkan anak saya waktu usia 1 thnan pernah dicakar mukanya, digetok kepalanya, anak saya diam saja karena memang belum paham apa itu mksdnya, blm menangis juga, tapi sekarang sudah bisa menangis kalau diperlakukan tidak baik oleh temannya ketika main, sy tidak pernah marahi anak tetangga itu klo masih bayi juga, tapi kalo sudah usia di atas 3 tahun, saya biasanya akan tegur baik-baik agar tak terbiasa seperti itu.
Kl ngomibgin ttg bully saya jd inget murid2 saya dulu mak,yg saya tangani setiap.mibggu pasti kadus bulliying..mulai dr yg pslsk,dimadukkan kr tong sampah dll.sefih bgt rasanya 🙁
iya mak, semoga emak yang selalu berhubungan dengan kasus itu bisa sedikit banyak lebih paham keadaan dan rasa yang harus dilalui anak-anak yang dibully itu. Terkadang guru tak mau tahu perasaan si anak yang dibully, guru cuek sehingga anak tersebut merasa tak ada gunanya terbuka dan jujur pada gurunya, ini bahaya.
duh… pengalaman yg ga enak yah 🙁
iya mak, semoga bisa diambil pelajaran dari dalamnya 🙂
astaghfirullaah… saya sedih membaca yang namanya bully ini 🙁
begitulah mak Tanti, bagaimanapun ‘move on’ dari kisah bully tidaklah mudah, kenangan itu akan selalu ada dan tersimpan, tinggal kitanya saja mampukah kita membalaskan rasa sakit itu dengan kebaikan dan prestasi, karena saya yakin orang yang dibully itu pada dasarnya adalah orang yang baik hanya berada pada tempat yang salah.
Wah, kok bisa begitu ya, Mak? Apakah anak2 lain (yg cewek) pernah alami hal yg sama (kejadian di toilet itu)?
Meluncur ke post lanjutan ah!
saya juga ga tau apakah anak perempuan lainnya juga mengalami hal yang saya rasakan mak. Tapi sepertinya anak-anak lelaki itu sudah biasa mengganggu anak perempuan jadi kesenangan tersendiri bagi mereka dikiranya begituan itu bercanda padahal justru berdampak buruk bagi si anak perempuan.
Ya Allah …
kadang memerluka keberanian yang lebih bagi seorang anak untuk mau bercerita ya, dik. Bila sekarang, kisah ini dibagi disini, saya yakin akan banyak manfaatnya buat yang membaca. Semoga peristiwa spt itu tdk terjadi pada anak2 kita
Peluk …
Terimakasih mbak, betul sekali saya sendiri mengalami betapa saya tidak ingin kedua orangtua saya mengetahui apa yang saya rasakan, saya yakin mereka akan lebih tidak bisa terima lagi, anak SD harus mengalami semua itu, saya hampir tak percaya mampu melewatinya mbak. Begitulah, semoga tidak menimpa anak-anak lainnya di Indonesia aamiin ya Allah..
saya ga hebat koq mbak, saya hanya kebetulan diberi kekuatan dan kesempatan untuk bisa melalui semua itu. Berkat semua itu saya jadi punya pengalaman untuk dibagi dan diceritakan pada yang lainnya. Semoga bermanfaat 🙂
oalah TK mak? ga kebayang saya, SD aja saya sudah bisa merasakan emosi, kesedihan mendalam dan kekecewaan yang sangat dari orang yang membully saya, tapi kalau dari TK apa mak Ety masih ingat detil semua kejadiannya? semoga bisa mengambil hikmahnya ya mak 🙂
Yang saya ingat waktu itu, ketika teman-teman bermain dan saya gabung, mereka kemudian bubar, intinya mereka gak mau main bareng saya. Sambil mengucapkan kata-kata yang kemudian baru saya pahami waktu smp. Teman sepermainan saya tuh kebanyakan anak-anak SD.
Menyedihkan ya Mak ….. pengalaman masa lalu yang horor memang
Sedihnya .. orang tuanya tak tahu. Kalau mereka tahu apa reaksinya? Jangan2 hanya mengatakan, “Ah, biasa .. anak2 hanya bermain.” Karena ada orang tua yang melakukan pembiaran begitu.
Anak2 rupanya sudah mengenal perbedaan tapi koq itu dianggap hal yang bisa dilakukan untuk menindas orang lain ya Mak
Mudah2an kita bisa menjadi ibu yang baik yang tidak membiarkan anak2 kita melakukan hal2 seperti itu ataupun tidak dilakukan oleh anak2 lain kepada anak lain (walaupun bukan anak kita).
Makasih sharing dan colekannya ya Mak ….. saya yakin insya Allah dirimu akan menjadi ibu yang baik.
Aamiin ya Allah, semoga anak-anak kita dijauhkan dari bully-membully itu..
Orangtua yang normal tentu akan mencari tahu kebenarannya, lalu memeluk dan mencium anaknya untuk meyakinkannya bahwa dia tak sendirian, ada orangtua yang siap membelanya dan menyayangi sepenuh hati. Berbeda jika reaksi orangtua biasa saja, maka anak juga tak akan mau bercerita lagi, karena merasa tak ada gunanya bercerita toh tidak ditanggapi sesuai harapannya.
aduh jahat banget 🙁
(baca sambungan berikutnya)
kalau dibilang usil sih itu sudah keterlaluan ya mak, dulu saya ga tau kalau itu termasuk bully. Sampe saya akhirnya potong rambut karena trauma di lem-lemin lagi ama anak-anak pembully itu 🙁
Berarti saya juga korban bullying donk?
Semoga suatu saat bisa ceritakan di blog…
memangnya diperlakukan seperti apa mbak?
kadang bullying yang ringan justru akan memperkuat jiwa kita di kemudian hari ya mak.
semoga demikian mak, sangat tergantung kepada kemampuan individunya dalam menghadapinya. Jika kuat tentu bisa dilewati jika lemah tentu akan sulit melewatinya. Semoga ada pelajaran yang bisa kita ambil untuk ke depannya.
Pingback: Sudah Kenyang dengan ‘Bully’ [Bagian 3] | Rodame